![]() |
| Dialog dan Deklarasi Kebangsaan, Jelang Hari Pahlawan |
AMBON – Obrolan tentang Soeharto biasanya panas, kaku, atau cepat berubah jadi perdebatan ideologis. Tapi Sabtu (8/11/2025) di Baileo Café, Ambon, suasananya lain. Puluhan mahasiswa duduk, berbicara tentang sejarah bukan dengan emosi, melainkan dengan kesadaran generasi baru: sejarah bukan dipilih untuk disukai, tapi dipahami untuk dihormati.
Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN) Maluku membuka panggung dialog bertajuk “Deklarasi dan Dialog Kebangsaan”, sebuah forum yang digagas untuk mendorong pengakuan Jenderal Besar H. Moehammad Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Gerakan ini digelar serempak di 15 kota di Indonesia.
Ketua AMAN Maluku, Mustakim Rumasukun, mengawali dialog dengan pesan sederhana:
“Kami tidak hadir untuk memoles sejarah, kami hadir agar sejarah tidak hanya dibaca separuh.”
Forum menghadirkan tiga pembicara yang mengupas Soeharto dari sudut berbeda. Hasbollah Assel hadir sebagai akademisi yang menolak menilai sejarah dengan kacamata hitam-putih.
“Bangsa ini menua bukan karena sejarahnya, tapi karena kita ragu mendewasakannya,” ucapnya.
Beranjak dari perspektif aktivisme, Talimuddin Rumaratu membawa argumen yang menohok: pasca pencabutan TAP MPR XI/1998 pada September 2024, tidak ada lagi dinding konstitusional yang menutup pintu pengakuan negara terhadap Soeharto.
“Hari ini kita tak sedang membahas dosa dan jasa. Kita sedang bicara tentang keberanian negara memulihkan hal yang memang seharusnya pulih,” tegasnya.
Ia mengingatkan kembali momen-momen krusial yang dilewati Indonesia saat kepemimpinan Soeharto: dari Serangan Umum 1 Maret, sentralisasi kendali negara di tengah turbulensi 1965, hingga keutuhan stabilitas 32 tahun yang memotori pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen.
Sementara Ayuni Abdullah menutup sisi diskusi dengan pendekatan yang lebih membumi—warisan yang bukan ada di buku sejarah, tetapi masih dipakai sampai hari ini.
“Jalan yang kita lewati, puskesmas tempat rakyat berobat, beras yang dulu kita ekspor, itu bukan sekadar data. Itu bukti dampak kepemimpinan.”
Ia menyinggung capaian besar seperti swasembada pangan 1984, keberhasilan program Keluarga Berencana (KB), pemerataan infrastruktur, hingga turunnya angka kemiskinan secara signifikan.
Dialog semakin hidup ketika sejumlah mahasiswa mengambil mikrofon, bukan untuk memuja tokoh, tetapi menuntut keutuhan narasi bangsa—bahwa generasi muda tidak ingin diwarisi sejarah yang terbelah, apalagi sejarah yang berusaha dihapus.
Acara ditutup dengan Deklarasi Kebangsaan, dibacakan lantang oleh para peserta. Bukan seremoni, melainkan penegasan sikap: Indonesia tidak butuh sosok tanpa cacat dalam sejarahnya, Indonesia hanya butuh keberanian untuk jujur pada sejarahnya.
Di Ambon sore itu, suara mahasiswa bukan sekadar wacana. Ia berubah menjadi pesan:
Soeharto tidak harus disanjung, tetapi jasa besarnya tidak pantas dihilangkan.
(EVA-004)




